***
di tanah lapang berbunga liar, gelak tawa kecil dan pekikan terdengar sewaktu Grace menawari Mr. Kitty secangkir teh.parasnya yang bagai peri nakal berkerenyut karena tawa ketika aku menawarkan tambahan kue kepada Baby Bear dalam acara tahunan kami, "Piknik Teddy Bear". ikal keemasan rambut Grace memantul-mantul dibahunya sewaktu ia meloncat,, mengucap "kau tak bisa menangkapku" dengan suara menggemaskan. seiring ayunan lari kakinya, tawanya yang surgawi menggantung di udara bagai janji abadi.
Grace Leianne Johnson dilahirkan pada tanggal 20 April 1984, sama seperti aku. ia sudah menjadi bagian hidupku. kenangan pertamaku, yang ku ingat, adalah saat kami berdua menjilati es krim di teras rumahku sementara mentari idaho menyinari kedua belah pipi kami yang ranum tercium cahaya matahari. Kathy Johnson, ibu Grace, menyebut kami si kembar yang liar. "penuh kejahilan.." katanya pada kami. aku tak peduli, karena, yah, memang hampir ada benarnya. aku dan Grace selalu iseng dan menjadi pengganggu yang luar biasa
hidup kami indah, kehidupan yang aku tak sudi pertukarkan dengan apapun di dunia ini, tapi lukisan kesempurnaan kami itu bisas juga terhiasi berbagai kesusahan. grace dilahirkan dua bulan lebih awal dari tanggal prakiraan dengan bobot hanya dua pon. ia dilahirkan dengan satu cacat fatal: tubuhnya belum berkembang secara sempurna, dan sebuah lubang di jantungnya akan menetap sebagai luka sepanjang hidup. beberapa waktu sebelum operasi jantungnya yang pertama dilaksanakan, kedua orang tuanya memberinya nama Grace, kemuliaan, karena menurut mereka hanya karena rahmat kemuliaan tuhan kau mampu bertahan sejauh ini. ia sudah melalui enam operasi dan satu kali transplantasi jantung, dan tumbuh sebagai gadis cilik yang amat cerewet. kami tak menyadari bahwa bukan jantungnya yang menjadi penyebab kejatuhannya.
Selama liburan musim panas menjelang kelas tujuh, aku dan Grace bersepeda menyusur jalanan berdebu menuju rumahku ketika peristiwa itu terjadi. “Rach, bisa berhenti sebentar?” ujarnya dengan suara yang sampai kini masih mampu menggetarkan seluruh ujung sarafku. Kami berhenti dan duduk di lembutnya lelumutan yang membatasi hutan kecil di seputar kota kecil kami. Kutatap matanya dalam-dalam dan kengerian muncul. Derita dan ketakutan terpancar dari sepasang mata kebahagiaan dan cinta kasih itu. Air mataku menggenang dan kerongkonganku mongering ketika ia memulai pembicaraan yang mengubah hidupku selama-lamanya.
“Rach, aku kedokter hari ini. Katanya jantungku baik-baik saja…” ia tersedak air matanya sendiri dan aku menggeleng tak sabar.
“lalu dimana buruknya? Jantungmu bagus.” Aku beralasan, tapi tahu bahwa ada yang sungguh-sungguh buruk. Grace memiringkan wajahnya agar aku tak bisa melihat airmata yang jatuh ke pipinya, tapi sia-sia, karena aku bisa melihat lebih banyak daripada sekedar air mata; aku melihat deritanya dan ketakutannya. Aku menatapnya dengan pandangan memohon sewaktu akhirnya ia berujar, “aku kena kanker, Rach.”
Kututup mulut ku dengan tangan sambil menggeleng-gelengkan kepalaku dalam kesangsian dan air mataku tumpah. “Tidak…” dan hanya kata itu yang kuucapkan sebelum aku menangis karena kesedihan yang dalam. Aku tak tahu berapa lama kami duduk berdua di tempat itu sambil tetap berpelukan, tetapi keabadian terasa kurang lama.
Malam itu aku sedang duduk di atap di luar jendela kamarku, memandangi bintang-gemintang yang bertebaran di langit. Kusandarkan kepalaku ke kusen jendela dan melihat ke atas, dalam sunyi mempertahankan kehadiran surge melalui tetesan air mata dan tangis. Kudengar suara dan kutolehkan kepalaku. Grace memanjat keluar jendela, pelan-pelan mendudukan diri disisiku, tanpa berkata-kata. Kami duduk seperti itu selama beberapa lama, mendengarkan nyanyi jangkrik bersahutan dan memandangi surge di atas kami. Sebuah benda langit yang gemerlap cahayanya melesat cakrawala, terbakar habis, dan tak akan kembali bisa melihat keberadaannya.
“ajukan permohonan, cepat,” kata Grace lirih.
“Aku sudah tidak percaya lagi.” Jawabku parau. “semua permohonan di dunia ini tak bisa menghentikan kankermu,” tambahku dengan pahit.
Grace mendongak ke langit dan berkata,” aku masih percaya. Waktu aku masih kecil aku selalu melihat langit dan mengajukan permohonan kepada setiap bintang jatuh. Tahukah kau apa yang kuminta?” aku menggeleng dan menggigit bibit, mencoba menghentikan airmata. “aku mohon kita bisa selamanya bersahabat, persahabatan yang tak mungkin tergantikan.”
Kutatap matanya dan kulihat ketulusannya, lalu kutanya ia “Apa yang kau minta kali ini?”
Dia memandangi langit lagi, cahaya bulan terpantul di wajahnya yang halus. “aku mohon kita bisa selamanya bersahabat, persahabatan yang tak mungkin tergantikan,” jawabnya pelan. Aku merebahkan/ kepalaku di bahunya, dan ia menyandarkan kepalanya di kepalaku. Kami duduk dalam sunyi , terus memandangi langit, berdoa semoga momen itu tak akan pernah berlalu.
Grace meninggal dunia tanggl 15 Oktober 1996, sebelum hidupnya dimulai sepenuhnya. Lima hari kemudian tubuhnya dimakamkan di pekuburan di kota kecil kami. Aku berdiri disitu,bergaun hitam panjang, angin dingin mencambuki jiwaku, mencoba tetap tabah, menceri-ceri niatku untuk meneruskan hidupku sendiri. Kata-kata penghiburan dari pemimpin upacara terdengar bagai gumam kacau yang asing yang mengaliri benakku. Seusai upacara, setiap orang meletakkan setangkai mawar putih lembut di petinya. Aku Cuma mematung dan melihat, tak sanggup bergerak dan mengelak dari takdir. Ibuku mencoba mengajakku pergi, tapi aku meronta. Ku langkahkan kaki mendekati peti Grace, kuletakkan tanganku di kayunya yang halus dan kuusap penuh kasih. Sebutir airmata lolos ke pipiku sewaktu aku merebahkan seikat mawar kuning lembut diatas tumpukan mawar putih yang melambangkan kesucian abadi. “I love you,” bisikku, dan ku embuskan sekecup ciuman ke udara, sambil berharap ia akan menyambutnya di surge. Berbalik, aku melangkah pergi, meninggalkan potongan kehidupanku, belahan jiwaku, selamanya.
***
Kukembalikan bingkai foto itu ke atas meja seraya kuusap air mataku. Cahaya redup memancarkan sinar lembut ke seantero kamarku. Ada rasa hangat dan nyaman. Perlahan aku meluruskan kakiku dan mendudukkan tubuhku ke kursi anyaman tua. Kupeluk diriku dan berjalan pelan-pelan menyeberangi kamar untuk membuka lemari penyimpanan ku. Aku berjinjit untuk menggeledah rak paling atas. Senyumku mengembang sewaktu kutemukan sebuah peti kayu ek kecil. Ku letakkan peti itu di karpet dan aku bersimpuh di lantai untuk membuka tutupnya. Aroma yang manis menyeruak keluar dan kupejamkan mataku untuk menghirup segala kenangan yang tersimpan disitu. Kutatap masa laluku di dalam peti itu. Ku ambil dan kupeluk sebuah boneka beruang kecil, dan aku seperti dapat mendengar suara tawa. Senyumku makin melebar sewaktu kulihat sepucuk surat kumal yang ditinggalkan oleh Grace. Bersandar ke pintu, kubaca lagi surat itu.
Rachel tersayang,
I love u. kau adalah sosok kepercayaanku, teman terkaribku, saudaraku.. penyelamatku. Kata-kata tulusmu yang bersahaja menyentuh hati dan jiwaku. Kau tinggalkan kesan abadi dalam hidupku, dank au menjadi bagian diriku. Aku tahu bila kau baca surat ini, tuhan sudah bersabda bahwa saat keberangkatanku telah tiba, dan kau amat menderita, dengan derita yang tak mungkin kupahami. Rasanya sakit sekali karena aku tak bisa menghiburmu dikala kau begitu membutuhkannya. Berjanjilah untuk tidak melupakanku,, tapi relakan kepergianku. Kau tak akan berhasil melewatinya jika kenanganmu memberati langkah kakimu. Sayangilah aku dalam hatimu, tapi lepaskan aku dari pikiranmuagar kau dapat kembali memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan dan cinta. Aku akan selalu mengawasimu dari surga.
Selalu dalam cinta.
Grace Leianne
Kubiarkan airmataku mengalir, membasahi surat usang itu sekali lagi. Lalu, kubuka mataku dan kuhapus air mata yang tersisa. Kukembalikan surat itu kedalam peti. Aku melangkah menghampiri meja untuk mengambil bingkai foto, dan dengan langkah terseret kudekati petiku kembali lalu kuletakkan bingkai itu kedalam peti. Tanpa sepatah katapun, kututup peti itu, kukunci, dank u kembalikan ke rak. Dengan satu tatapn terakhir, kututup lemari penyimpanan ku dan sebuah bab dalam kehidupanku
Rachel Littler -fiksi
Grace Leianne Johnson dilahirkan pada tanggal 20 April 1984, sama seperti aku. ia sudah menjadi bagian hidupku. kenangan pertamaku, yang ku ingat, adalah saat kami berdua menjilati es krim di teras rumahku sementara mentari idaho menyinari kedua belah pipi kami yang ranum tercium cahaya matahari. Kathy Johnson, ibu Grace, menyebut kami si kembar yang liar. "penuh kejahilan.." katanya pada kami. aku tak peduli, karena, yah, memang hampir ada benarnya. aku dan Grace selalu iseng dan menjadi pengganggu yang luar biasa
hidup kami indah, kehidupan yang aku tak sudi pertukarkan dengan apapun di dunia ini, tapi lukisan kesempurnaan kami itu bisas juga terhiasi berbagai kesusahan. grace dilahirkan dua bulan lebih awal dari tanggal prakiraan dengan bobot hanya dua pon. ia dilahirkan dengan satu cacat fatal: tubuhnya belum berkembang secara sempurna, dan sebuah lubang di jantungnya akan menetap sebagai luka sepanjang hidup. beberapa waktu sebelum operasi jantungnya yang pertama dilaksanakan, kedua orang tuanya memberinya nama Grace, kemuliaan, karena menurut mereka hanya karena rahmat kemuliaan tuhan kau mampu bertahan sejauh ini. ia sudah melalui enam operasi dan satu kali transplantasi jantung, dan tumbuh sebagai gadis cilik yang amat cerewet. kami tak menyadari bahwa bukan jantungnya yang menjadi penyebab kejatuhannya.
Selama liburan musim panas menjelang kelas tujuh, aku dan Grace bersepeda menyusur jalanan berdebu menuju rumahku ketika peristiwa itu terjadi. “Rach, bisa berhenti sebentar?” ujarnya dengan suara yang sampai kini masih mampu menggetarkan seluruh ujung sarafku. Kami berhenti dan duduk di lembutnya lelumutan yang membatasi hutan kecil di seputar kota kecil kami. Kutatap matanya dalam-dalam dan kengerian muncul. Derita dan ketakutan terpancar dari sepasang mata kebahagiaan dan cinta kasih itu. Air mataku menggenang dan kerongkonganku mongering ketika ia memulai pembicaraan yang mengubah hidupku selama-lamanya.
“Rach, aku kedokter hari ini. Katanya jantungku baik-baik saja…” ia tersedak air matanya sendiri dan aku menggeleng tak sabar.
“lalu dimana buruknya? Jantungmu bagus.” Aku beralasan, tapi tahu bahwa ada yang sungguh-sungguh buruk. Grace memiringkan wajahnya agar aku tak bisa melihat airmata yang jatuh ke pipinya, tapi sia-sia, karena aku bisa melihat lebih banyak daripada sekedar air mata; aku melihat deritanya dan ketakutannya. Aku menatapnya dengan pandangan memohon sewaktu akhirnya ia berujar, “aku kena kanker, Rach.”
Kututup mulut ku dengan tangan sambil menggeleng-gelengkan kepalaku dalam kesangsian dan air mataku tumpah. “Tidak…” dan hanya kata itu yang kuucapkan sebelum aku menangis karena kesedihan yang dalam. Aku tak tahu berapa lama kami duduk berdua di tempat itu sambil tetap berpelukan, tetapi keabadian terasa kurang lama.
Malam itu aku sedang duduk di atap di luar jendela kamarku, memandangi bintang-gemintang yang bertebaran di langit. Kusandarkan kepalaku ke kusen jendela dan melihat ke atas, dalam sunyi mempertahankan kehadiran surge melalui tetesan air mata dan tangis. Kudengar suara dan kutolehkan kepalaku. Grace memanjat keluar jendela, pelan-pelan mendudukan diri disisiku, tanpa berkata-kata. Kami duduk seperti itu selama beberapa lama, mendengarkan nyanyi jangkrik bersahutan dan memandangi surge di atas kami. Sebuah benda langit yang gemerlap cahayanya melesat cakrawala, terbakar habis, dan tak akan kembali bisa melihat keberadaannya.
“ajukan permohonan, cepat,” kata Grace lirih.
“Aku sudah tidak percaya lagi.” Jawabku parau. “semua permohonan di dunia ini tak bisa menghentikan kankermu,” tambahku dengan pahit.
Grace mendongak ke langit dan berkata,” aku masih percaya. Waktu aku masih kecil aku selalu melihat langit dan mengajukan permohonan kepada setiap bintang jatuh. Tahukah kau apa yang kuminta?” aku menggeleng dan menggigit bibit, mencoba menghentikan airmata. “aku mohon kita bisa selamanya bersahabat, persahabatan yang tak mungkin tergantikan.”
Kutatap matanya dan kulihat ketulusannya, lalu kutanya ia “Apa yang kau minta kali ini?”
Dia memandangi langit lagi, cahaya bulan terpantul di wajahnya yang halus. “aku mohon kita bisa selamanya bersahabat, persahabatan yang tak mungkin tergantikan,” jawabnya pelan. Aku merebahkan/ kepalaku di bahunya, dan ia menyandarkan kepalanya di kepalaku. Kami duduk dalam sunyi , terus memandangi langit, berdoa semoga momen itu tak akan pernah berlalu.
Grace meninggal dunia tanggl 15 Oktober 1996, sebelum hidupnya dimulai sepenuhnya. Lima hari kemudian tubuhnya dimakamkan di pekuburan di kota kecil kami. Aku berdiri disitu,bergaun hitam panjang, angin dingin mencambuki jiwaku, mencoba tetap tabah, menceri-ceri niatku untuk meneruskan hidupku sendiri. Kata-kata penghiburan dari pemimpin upacara terdengar bagai gumam kacau yang asing yang mengaliri benakku. Seusai upacara, setiap orang meletakkan setangkai mawar putih lembut di petinya. Aku Cuma mematung dan melihat, tak sanggup bergerak dan mengelak dari takdir. Ibuku mencoba mengajakku pergi, tapi aku meronta. Ku langkahkan kaki mendekati peti Grace, kuletakkan tanganku di kayunya yang halus dan kuusap penuh kasih. Sebutir airmata lolos ke pipiku sewaktu aku merebahkan seikat mawar kuning lembut diatas tumpukan mawar putih yang melambangkan kesucian abadi. “I love you,” bisikku, dan ku embuskan sekecup ciuman ke udara, sambil berharap ia akan menyambutnya di surge. Berbalik, aku melangkah pergi, meninggalkan potongan kehidupanku, belahan jiwaku, selamanya.
***
Kukembalikan bingkai foto itu ke atas meja seraya kuusap air mataku. Cahaya redup memancarkan sinar lembut ke seantero kamarku. Ada rasa hangat dan nyaman. Perlahan aku meluruskan kakiku dan mendudukkan tubuhku ke kursi anyaman tua. Kupeluk diriku dan berjalan pelan-pelan menyeberangi kamar untuk membuka lemari penyimpanan ku. Aku berjinjit untuk menggeledah rak paling atas. Senyumku mengembang sewaktu kutemukan sebuah peti kayu ek kecil. Ku letakkan peti itu di karpet dan aku bersimpuh di lantai untuk membuka tutupnya. Aroma yang manis menyeruak keluar dan kupejamkan mataku untuk menghirup segala kenangan yang tersimpan disitu. Kutatap masa laluku di dalam peti itu. Ku ambil dan kupeluk sebuah boneka beruang kecil, dan aku seperti dapat mendengar suara tawa. Senyumku makin melebar sewaktu kulihat sepucuk surat kumal yang ditinggalkan oleh Grace. Bersandar ke pintu, kubaca lagi surat itu.
Rachel tersayang,
I love u. kau adalah sosok kepercayaanku, teman terkaribku, saudaraku.. penyelamatku. Kata-kata tulusmu yang bersahaja menyentuh hati dan jiwaku. Kau tinggalkan kesan abadi dalam hidupku, dank au menjadi bagian diriku. Aku tahu bila kau baca surat ini, tuhan sudah bersabda bahwa saat keberangkatanku telah tiba, dan kau amat menderita, dengan derita yang tak mungkin kupahami. Rasanya sakit sekali karena aku tak bisa menghiburmu dikala kau begitu membutuhkannya. Berjanjilah untuk tidak melupakanku,, tapi relakan kepergianku. Kau tak akan berhasil melewatinya jika kenanganmu memberati langkah kakimu. Sayangilah aku dalam hatimu, tapi lepaskan aku dari pikiranmuagar kau dapat kembali memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan dan cinta. Aku akan selalu mengawasimu dari surga.
Selalu dalam cinta.
Grace Leianne
Kubiarkan airmataku mengalir, membasahi surat usang itu sekali lagi. Lalu, kubuka mataku dan kuhapus air mata yang tersisa. Kukembalikan surat itu kedalam peti. Aku melangkah menghampiri meja untuk mengambil bingkai foto, dan dengan langkah terseret kudekati petiku kembali lalu kuletakkan bingkai itu kedalam peti. Tanpa sepatah katapun, kututup peti itu, kukunci, dank u kembalikan ke rak. Dengan satu tatapn terakhir, kututup lemari penyimpanan ku dan sebuah bab dalam kehidupanku
Rachel Littler -fiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar